Minggu, 14 Februari 2016

Peristiwa 10 November 1945

                                                   Peristiwa 10 November1945  
    
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

Kronologi Penyebab Peristiwa

Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

                                                              
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby 
 
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.


Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan “
                                                                                      

Ultimatum 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara   Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.



Isi Dari Pidato Bung Tomo :                                                   Bismillahirrohmanirrohim..
MERDEKA!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia
terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya
kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini
tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet
yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua
kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan
menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang
mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan
mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera puitih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka
Saudara-saudara
di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan
bahwa rakyat Indonesia di Surabaya
pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku
pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi
pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali
pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan
pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera
pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di surabaya ini
di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing
dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung
telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol
telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana
hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara
dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini
maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran
tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri
dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya
Saudara-saudara kita semuanya
kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini
akan menerima tantangan tentara inggris itu
dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya
ingin mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa
ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini
dengarkanlah ini tentara inggris
ini jawaban kita
ini jawaban rakyat Surabaya
ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian
hai tentara inggris
kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu
kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu
kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu
tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita
untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada
tetapi inilah jawaban kita:
selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting!
tetapi saya peringatkan sekali lagi
jangan mulai menembak
baru kalau kita ditembak
maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka
Dan untuk kita saudara-saudara
lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka
semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara
pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
percayalah saudara-saudara
Tuhan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
MERDEKA!!!